PENDAHULUAN BAB I
a.
Latar
Belakang
Pengertian sehat menurut WHO yaitu suatu keadaan
dimana tidak hanya terbebas dari kelemahan atau penyakit tetapi juga terdapat
pada mental, sosial, dan kesejahteraan fisik. Mental, sosial, dan kesejahteraan
fisik tersebut merupakan masalah penting bagi penderita CKD (Chronic Kidney Disease) karena dapat
mempengaruhi penurunan QoL (Quality of
Life) penderita (Lacson, 2010). QoL pada penderita CKD yang menggunakan
terapi hemodialisa masih merupakan masalah classic
bagi para peneliti kesehatan terutama perawat. Hemodialisa bertujuan dalam
mempertahankan baik secara kuantitas maupu QoL penderita (Brunner &
Suddart, 2002).
Dewasa ini, hampir di seluruh dunia telah terjadi peningkatan
mencapai 165% dalam perawatan HD (hemodialisa) untuk ESRD (End Stage Renal Disease) selama dua dekade terakhir. Prevalensi global
pengobatan ESRD dengan HD untuk negara-negara dengan akses HD universal
meningkat 134% setelah disesuaikan untuk pertumbuhan populasi dan penuaan (145%
pada wanita vs 123% pada pria). Untuk negara-negara yang populasi tidak
memiliki akses HD universal meningkat rata-rata 102% (116% untuk perempuan vs
90% untuk laki-laki). Amerika Latin tropis, Asia Selatan, Oceania, Sahara
sub-tengah Afrika, dan Eropa Timur merupakan lima daerah di dunia yang tidak
terjadi peningkatan prevalensi penderita (American
Society of Neprhology, 2013).
Data WHO tahun 2008 menunjukkan 57 juta kasus kematian
di dunia, terdapat 36 juta kasus kematian disebabkan oleh PTM (Penyakit Tidak
Menular). PTM merupakan penyebab utama terjadinya kematian di dunia (USRDS,
2011). Prevalensi CKD tertinggi didapatkan di Jepang dengan jumlah 2000 : 1
juta penduduk, di Amerika 1500 : 1 juta penduduk, di Eropa 800 : 1 penduduk
(Barsoum RS, 2006). Berdasarkan data USRDS (The
United States Renal Data System) tahun 2011 menunjukkan PR (Prevalensi Rate) penderita CKD di Amerika
Serikat tahun 2009 sebesar 1811 : 1 juta penduduk, sedangkan di Taiwan sebesar
2447 : 1 juta penduduk dan sebesar 2205 : 1 juta penduduk di Jepang.
Diperkirakan penderita CKD di masa depan akan terus
meningkat. Hal ini disebabkan adanya prediksi peningkatan kasus PTM dari
hipertensi dan diabetes melitus di dunia. Peningkatan kualitas kesehatan akan
dipengaruhi oleh bertambahnya umur manusia, obesitas, dan penyakit degeneratif.
Prediksi tahun 2015 diperkirakan 3 juta penduduk di dunia membutuhkan terapi
hemodialisa untuk penderita CKD dengan perkiraan pervalensi 5% per tahunnya.
Tahun 2030 diperkirakan 24 juta penduduk di dunia akan menderita CKD dengan perkembangan
terbesar di Asia Pasifik yaitu rata-rata 10% per tahun (Roesma J, 2008).
Denhaerynck, Manhaeve, Dobbels, Garzoni, Nolte &
Degeest, 2007 mengatakan bahwa HD (hemodialisa) merupakan terapi yang paling
sering digunakan, di antara penderita CKD di Eropa dan Amerika Serikat 46% -
98% menggunakan terapi hemodialisa, meskipun hemodialisa sangat efektif
digunakan dalam memperpanjang hidup penderita, namun angka mortalitas dan
morbiditasnya masih tinggi. Penderita CKD menggunakan terapi HD sebesar 32% -
33% hanya dapat bertahan sampai tahun kelima.
Prevalensi CKD di Indonesia berdasarkan survei
komunitas yang dilakukan Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) yang
mengalami penurunan fungsi ginjal sebesar 12,4% dari populasi. Survei ini belum
dapat mewakili Epidemiologi di Indonesia, tetapi secara kasar >25 juta
penduduk Indonesia sudah menjadi penderita penyakit ginjal, jika tidak
dilakukan pengobatan lebih awal akan membuat keadaan menjadi lanjut ke keadaan
yang disebut CKD (Suhardjono, 2001).
Di Indonesia diperkirakan penderita CKD berdasarkan
data dari PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) terdapat 50 : 1
juta penduduk. Tahun 2007 penderita CKD sebanyak 4500 penderita, kemudian tahun
2008 terdapat 40 ribu penderita CKD, tetapi dari jumlah penderita tersebut
hanya 3000 penderita yang bisa menikmati pelayanan hemodialisa, sisanya hanya
pasrah menjalani hidupnya (Suhardjono, 2001). Balitbangkes melaporkan data
prevalensi PT di Indonesia tahun 2007 sebesar 59,5%. Salah satu di antara PTM
tersebut adalah CKD (Balitbangkes, 2008). Tahun 2009 tercatat sebanyak 8034
penderita kemudian tahun berikutnya sebanyak 12804 penderita (Indonesia Renal
Registry, 2012).
Angka CKD berdasarkan diagnosis dokter/tenaga
kesehatan penderita di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi
Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Sulawesi Utara, dan Gorontalo masing-masing
0,4%. Sementara 0,3% untuk daerah Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Provinsi
Sumatera Utara sebesar 0,2% (Riskesdas, 2013). Depkes mengatakan tahun 2006
jumlah penderita CKD di Jawa Tengah sekitar 169 kasus (Depkes, 2008). Data IRR
(Indonesian Renal Registry), tahun 2011 didapatkan jumlah diagnosis CKD
mencapai 13619. Data tahun 2011, pasien baru tercatat 15353 penderita, dan
penderita aktif 6951. Peningkatan penderita baru dan aktif lebih banyak
tercatata karena unit hemodialisa yang terus bertambah.
Jumlah kasus penderita yang menjalani hemodialisa
dibiayai oleh PT. ASKES terus mengalami peningkatan dari 481 kasus pada tahun
1989 menjadi 10452 kasus pada tahun 2005. Penderita CKD di Indonesia
berdasarkan data yang dirilis PT. ASKES pada tahun 2010 jumlah penderita CKD
sebanyak 17507 penderita, sedangkan sebesar 23261 penderita di tahun 2011,
kemudian bertambah 880 orang menjadi 24141 penderita pada tahun 2012. Jumlah
penderita CKD yang terus menerus meningkat sangat membebani perekonomian
terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia (Roesli, 2008).
Berdasarkan data di Provinsi Lampung sendiri
peningkatan penderita CKD cukup tinggi. Data dari beberapa rumah sakit yaitu
data dari Rumah Sakit Bumi Waras pada tahun 2007 jumlah pasien 9 orang dengan 1972
kali tindakan dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 12 orang dengan 2500 kali
tindakan. Data dari Rumah Sakit Ahmad Yani Metro pada 2006 jumlah pasien 4
orang pada tahun 2013 meningkat menjadi 56 orang. Data dari Rumah Sakit Graha
Husada pada tahun 2006 jumlah pasien yang menjalani hemodialisa sebanyak 10
orang dan pada tahun 2013 menjadi 24 orang. Rumah Sakit Immanuel pada tahun
2013 terdapat 46 orang yang menjalani hermodialisis. Rumah Sakit Abdoel Moeloek
Bandar Lampung terdapat 200 orang yang menjalani terapi hemodialisa (Arinta,
2013).
Respon emosional seseorang pada suatu keadaan yang
tidak menyenangkan dan semua makhluk hidup mengalaminya dalam kehidupan
sehari-hari yang merupakan definisi dari kecemasan. Suatu kegiatan berlebih
dari SSA (Susunan Syaraf Autonomik) adalah tanda dari cemas yang disertai
gejala somatik dan merupakan gejala umum tetapi non-spesifik yang berarti satu
fungsi dari emosi (Suliswati, 2005).
Jhoni Y.K. Jangkup, Christofel Elim, Lisbeth F.J (2015)
dalam penelitiannya dari 40 responden, responden terbanyak tingkat kecemasan
berdasarkan umur 40-60 tahun yaitu 15
orang (37,5%), jenis kelamin sama antara laki-laki dan perempuan yaitu 20 orang
(50%), tingkat pendidikan sarjana 17 orang (42%), pekerjaan PNS 14 orang (35%),
lamanya menjalani hemodialisis <6 bulan dan >6 bulan, masing-masing 20
orang (50%). kesimpulan: Pasien CKD yang menjalani hemodialisis <6 bulan
memiliki tingkat kecemasan yang signifikan berat dibandingkan dengan yang
menjani hemodialisis >6 bulan.
Setiap individu memiliki QoL (Quality of Life) yang berbeda tergantung dari masing-masing individu
dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Jika menghadapi dengan
positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika
menghadapi dengan negatif maka akan buruk pula QoL penderita. Kreitler &
Ben (2004) dalam Nofitri (2009) kualitas hidup diartikan sebagai persepsi
individu mengenai keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih
spesifiknya adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam
kehidupan, dalam konteks budaya dan system nilai dimana mereka hidup dalam
kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi
perhatian individu.
Ibrahim (2009), menunjukkan bahwa 57,1% pasien yang
menjalani hemodialisis mempersepsikan QoL pada tingkat rendah dan 42,9% pada
tingkat tinggi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurchayati (2011)
yang menyatakan bahwa pasien yang QoL kurang baik berjumlah 45 orang (47,4%) dan
yang QoL sebanyak 50 orang (52,6%). Berbeda juga dengan penelitian yang telah dilakukan
Togatorop (2011) yang menyatakan bahwa QoL pasien CKD dalam kategori tinggi
sebesar 62,5% (20 orang) dan kategori sedang sebesar 37,5% ( 12 orang).
Berdasarkan survei awal tanggal 10 November 2015
terdapat 69 penderita gagal ginjal yang melakukan hemodialisa di RSUD
Pringsewu, dari 7 orang pasien diwawancara ditemukan 5 orang mengatakan berumur
50 tahun lebih, pasien mengatakan cemas memikirkan sampai kapan terapi
hemodialisa akan dijalaninya, tidak mengetahui hasil terapi, dan kesembuhan
penyakitnya. 4 orang pasien tersebut mengalami kecemasan berat dengan ciri-ciri
pasien tampak bingung dan gugup pada saat hemodialisis akan dimulai, ketakutan
tidak akan bisa bekerja seperti biasa, salalu bertanya dengan wajah tegang,
muka pucat, tampak putus asa, merasa tidak dibutuhkan dan selalu banyak
berkeringat. 3 orang pasien lainnya cemas karena memikirkan biaya yang harus
dikeluarkan setiap kali terapi dilakukan dan merasa menjadi beban bagi
keluarganya.
Berdasarkan kejadian tersebut, maka peneliti merasa
tertarik untuk mengetahui “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Quality of Life Pada Pasien Chronic Kidney Disease Di Ruang
Hemodialisis Di RSUD Pringsewu Tahun 2016”.
b.
Rumusan masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
adakah “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Quality
of Life Pada Pasien Chronic Kidney Disease
Di Ruang Hemodialisis Di RSUD Pringsewu Tahun 2016 ?”
c.
Tujuan
Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui “Hubungan
Tingkat Kecemasan Dengan Quality of Life
Pada Pasien Chronic Kidney Disease Di
Ruang Hemodialisis Di RSUD Pringsewu Tahun 2016”.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk
mengetahui Tingkat Kecemasan pada pasien Chronic
Kidney Disease yang menjalani terapi Hemodialisis.
b. Untuk
mengetahui Quality Of Life pada
pasien Chronic Kidney Disease yang menjalani
terapi hemodialisis.
c.
untuk mengetahui Hubungan Antara Tingkat
Kecemasan Dengan Quality Of Life pada
pasien Chronic Kidney Disease yang
menjalani terapi Hemodialisis.
d.
Manfaat
Penelitian
1.
Bagi
Institusi Pendidikan
Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi acuan pembelajaran dan informasi mengenai
kebutuhan Bio Psiko sosio spiritual kultural pasien..
2.
Bagi
Institusi Pelayanan Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur
tenaga kesehatan untuk memperhatikan sisi kebutuhan dasar pasien yaitu Bio Psiko
Sosio Spiritual Kultural.
3.
Bagi
Peneliti
Penelitian
ini diharapakan dapat jadikan literatur atau dikembangkan kembali dalam
penelitian berikutnya.
e.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah keperawatan
jiwa dan keperawatan dewasa.
Cover Skripsiku CKD
BabI Skripsiku CKD
BABII Skripsiku CKD
BABIII Skripsiku CKD
BABIV Skripsiku CKD
BABV Skripsiku CKD
Kuisioner WHOQOL
Kuisioner HARS
PPT Skripsiku CKD
Hasil Kuisioner HARS
Hasil Kuisioner WHOQOL
Data Hasil Hubungan QOL Dan Tingkat Kecemasan
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar