RESIKO PERILAKU KEKERASAN
A. Masalah
Utama: Resiko Perilaku Kekerasan
1. Pengertian
Perilaku Kekerasan
a. Resiko
perilaku kekerasan adalah suatu bentuk prilaku maupun bertujuan melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis(keliat,2010)
b. American
Psychological Association (2006 dalam Townsend, 2009) mengemukakan bahwa
kekerasan/kemarahan adalah keadaan emosional yang bervariasi dalam intensitas
ringan hingga kemarahan yang intens (berat), hal ini disertai dengan perubahan
fisiologis dan biologis, seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan
kadar hormone epinerphrine dan norepinerphine.
c. Stuart,
(2009) mengemukakan perilaku agresif adalah suatu kondisi dimana seseorang
mengabaikan hak orang lain, dia menganggap bahwa harus berjuang untuk kepentingannya
dan mengharapkan perilaku yang sama dari orang lain, bagi dia hidup adalah
pertempuran yang dapat mengakibatkan kekerasan fisik atau verbal, perilaku
agresif sering terjadi akibat kurang kepercayaan diri.
d. Perilaku
agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien dengan
skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline, gangguan perilaku
dan ketergantungan obat (Fontaine, 2009).
e. Perilaku
kekerasan didefinisikan sebagai tindakan kekuatan fisik dimaksudkan untuk
menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek, agresif dan perilaku kekerasan
merupakan sebuah rentang kontinum dari
perilaku yang mencurigakan kepada tindakan ekstrim yang mengancam keselamatan
orang lain atau mengakibatkan cidera
atau kematian (Herper&Reimer, 1992 dalam videback, 2008).
f.
Resiko perilaku kekerasan
merupakan perilaku yang memperlihatkan individu tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan
atau seksual kepada orang lain (NANDA-I, 20012-2014, Herdman, 2012)
Dari semua pertanyaan
diatas maka perilaku kekerasan atau agresif dapat didefisinikan sebagai
perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan lingkungan yang bervariasi
dari intensitas ringan sampai berat/ intens, dilakukan baik secara verbal,
fisik, dan emosional yang akan mengakibatkan perusakan harta benda, perampasan
hak, kerugian dan bahkan kematian.
2. Tahapan
Resiko Perilaku Kekerasan
Tahapan perilaku agresif
atau resiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009)
a. Tahap
1: Tahap memicu
Perasaan
: Kecemasan
Perilaku
: Agitasi, mondar-mandir,
menghindari kontak
Tindakan perawat:
Mengidentifikasi factor pemicu,
mengurangi kecemasan, memecahkan masalah bila memungkinkan.
b. Tahap
2: Tahap Transisi
Perasaan
: Marah
Perilaku
: Agitasi meningkat
Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah,
menjaga pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak
kompromi, mencari dampak agitasi; meminta bantuan.
c. Tahap
3: Krisis
Perasaan
: Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku
: Agitasi, gerakan mengancam,
menyerang orang disekitar, berkata kotor; berteriak
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam
menjaga jarak pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk
menjaga komunikasi
d. Tahap
4: Perilaku merusak
Perasaan
: Marah
Perilaku
: Menyerang; merusak
Tindakan perawat : Lindungi klien lain, menghindar,
melakukan pengekangan fisik
e. Tahap
5: Tahap lanjut
Perasaan
: Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku
terang-terangan destruktif, pengurangan tingkat gairah
Tindakan perawat : Tetap waspada karena perilaku
kekerasan baru masih memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam
f.
Tahap 6: Tahap peralihan
Perasaan
: Marah
Perilaku
: Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah
utama
3. Rentang
Respon Resiko Perilaku Kekerasaan
Perilaku kekerasaan
merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat berfluktrusi dalam rentan
adaptif sampai maladaptif (Keliat & Siaga, 1991). Rntan respon marah
menurut Stuart dn Sundeen (1995) dijelaskan dalam skema 2.2 dimana agresif dan
amuk (perilaku kekerasan) berada pada rentan respon yang maladaptif.
a. Asertif
Prilaku asertif adalah menyampaikan suatu
persaan diri dengan paasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang
lain . individu yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat
melihat normal dari individu lainnya dengantepat sesuai dengan setuasi pada
saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu,intonasi sura dalam
berbicara tidak mengancam ,postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah
bahwa individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Permintaan masukan yang
positif juga termasuk perilaku asertif ( Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009).
b. Pasif
Individu yang sering
pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya terhadap hak orang lain.
Ketika seseorang yang pasif marah makan dia akan berusaha menutupi kemarahannya
sehingga meningkatkan tekanan pada dirinya (Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009). Perilaku pasif dapat diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang
pasif biasanya bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata
yang sedikit. Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan
memegang tubuh dengan dekat ( Stuart, 2009)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon
yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang realistis atau hambatan
dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia, 2005). Frustasi adalah kegagalan
individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat
jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan
(Keliat & Sinaga, 1991).
d. Agresif
Individu yang agresif
tidak menghargai hak orang lain. Individu
harus merasa bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkanya seorang
yang agresif didalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan perbal
.berlaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa
percaya diri ( bushman &
baumeister,1998 dalam stuart & laraia,2005;stuart,2009 ) prilaku agresif juga ditunjukkan secara non
perbal,seseorang yangagresif melanggar
batas orang lain ,bicaranya keras dan lantang,biasanya kontak mata yang
berlebihan dan mengganggu ,postur kaku dan tanpak mengancam ( stuart,2009).
e. Amuk
Amuk atau prilaku
kekerasan adalah perasaan marah dan permusuhan yang kuat dan disertai
kehilangan control diri sehingga individu dapat merusak diri,orang lain dan
lingkungan( melihat keliat & sinaga,1991). Menurut stuart dan laraya
(2009)prilaku kekerasan berplukstuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaiyu
yang disebut dengan hirarki prilaku agresi dan kekerasan (gambar 2.1 )
Gambar 2.1 hirarki
prilaku pada klien dengan prilaku kekerasan.
Berdasarkan gambar diatas
dapat diketahui bahwa prilaku kekerasan mempunyai tingkatberdasarkan prilakunya mulai dari yangterendah yaitu
memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada tingkatan yang
tertiggi yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan.
A. Proses
terjadinya masalah
Prilaku
kekerasan merupakan salah satu respon mal akdatif dari marah .
Marah
adalah emosi yang kuat;ketika di tolak atau dipendam dapat memicu masalah fisik
seperti sakit kepala migren ,ulcer,radang usus bahkan penyakit jantung koroner.marah
dapat merubah menjadi kebencian yang sering dimanifestasikan dengan prilaku
diri yangnegatif dari pasif sampai agresif ( tounsend,2009).
Kemarahan
terjadi ketika individu mengalami prustasi,terluka atau takut (vidback,2008 ).
Kesulitan
dalam jiwa (koh,kim & park,2002 dalam vidhback,2008).prilaku kekerasan
adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan (panic) alas an khusus
dari prilaku agresif berfariasi dari setiap orang( stuart &
laraya,2005;stuart,2009)
Penyebab kemarahan
atau resiko prilaku kekerasan secara umum adalah : kebutuhan yang tidak
menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai dengan kenyataan .model stress
adaftasi stuart dari keperawatan jiwa memandang prilaku manusia dalam
perspektif yang holistic terdiri atas biologis,psikologis dan sosio cultural
dan aspek aspek tersebut saling berintegrasi dalam keperawatan komponen
biopsikososial dari model tersebut
termasuk dalam factor predisposisi,presipitasi,penilaian terhadap
stressor,sumber koping dan mekanisme koping ( stuar &
laraya,2005;sturt,2009). Menurut stuart( 2009 ),masalah prilaku kekerasan dapat
dijelaskan dengan menggunakan psikodinamika masalah keperawatan jiwa seperti
sekema 2.1 dibawah ini.
1 faktor predisposisi
a. Faktor biologi
Faktor biologi secara
alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab (predisposisi) atau menjadi
faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku kekerasan pada individu.
Fraktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu
keadaanatau faktor risiko yang dapat mempengaruhi peran dalam menghadapi stressor
adapun yang termasuk dalam faktor biologis ini adalah :
1). Struktur otak
(neuroanatomi)
Penelitian telah di
fokuskan pada tiga area otak yang diyakini terlibat dengan perilaku agresif
adalah sistem limbik ,lobus frontal,dan hiphotalamus.Neurotransmiter juga di
usulkan memiliki peran dalam munculnya prilaku kekerasan atau penekanan prilaku
kekerasan (Niehoff,2002;Hoptman,2003 Stuart & Laraia ,2005;Stuart &
laraia,2005;Stuart ,2009)
Kerusakan struktur pada limbik dan lobus
frontal serta lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk
memodulasiagresif sehingga menyebabkan perilaku agresif sehingga menyebabkan
perilaku agresif/kekerasan (Videback,2008).Penelitian telah menemukan bahwa
pada epilepsi pada daerah lobus temporal dan frontal ada pada klien episodik
agresif dan perilaku kekerasan (townsend,2009;Fontaine;2009)
Sistem limbik di kaitkan dengan mediasi
dorongan dasar dan ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti :makan
,agresi,dan respon sexual,termasuk proses pengolahan informasi dan memori.
Sintesis informasi ke dan dari area lain otak mempunyai pengaruh pada emosional
dan perilaku .perubahan dalam sistem limbik dapat menyebabkan peningkatan atau
penurunan perilaku agresif .Secara khusus amigdala bagian dari sistem limbik
menjadi mediasi ekpresi kemarahan dan ketakutan (Stuart,2009).
Lobus Frontal berperan penting dalam
mediasi tingkah laku yang berarti dan berfikir rasional. Lobus ini merupakan
bagian dari otak dimana pikiran dan emosi beriinteraksi. Kerusakan pada lobus
frontal dapat mengakibatkan gangguan penilaian,perubahan kepribadian ,masalah
pengambilan keputusan,ketidaksesuaian dalam berhubungan dan ledakan
agresif.Hipotalamus di dasar otak berfungsi sebagai sistem alarm/peringatan
otak. Kondisi stress menaikan jumlah steroid,hormon yang di keluarkan oleh
kelenjar adrenal,saraf reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam
upaya mengkompensasi peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar
pituitari untuk menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang
sistem berespon lebih kuat terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan
mengapa stress traumatik pada anak secara permanen dapat meningkatkan potensi
seseorang untuk melakukan kekerasan (Stuart,2009).
2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan
pada kromosom 5 dan 6 yang mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia
(Copel,2007). Sedangkan Buchana dan Carpenter (2000,dalam Stuart &
Laraia,2005;Stuart,2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam
menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6. Sedangkan kromosom lain yang juga
berperan adalah kromosom 4,8,15 dan 22,Craddok et al (2006 dalam Stuart,2009 ).
Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1
yang bertanggung jawab memproduksi GABA ,dimana pada klien skizofrenia tidak
dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal,dimana
bagian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et
al,(2007 dalam Stuart ,2009).
Penelitian yang paling penting memusatkan
pada penelitian anak kembar yang menunjukan anak kembar identik beresiko
mengalami skizofrenia sebesar, sedangkan pada kembar nonidentik/fraternal
beresiko 15% mengalami skizofrenia. Risiko 15% jika salah satu orang tua
menderita skizofrenia. Angka ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua
biologis menderita skizofrenia
(Cancro &
Lehman,2000;Videback,2008;Stuart,2009;Townsend ,2009;Fontaine,2009).
Semua penelitian ini menunjukan bahwa
faktor genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi
perhatian untuk mengetahui risiko seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari
faktor keturunan.
3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak
yang di transmisikan dari dan ke seluruh neuron sinapsis,sehingga menghasilkan
komunikasi antara otak dan struktur otak lain. Peningkatan atau penurunan zat
ini dapat mempengaruhi prilaku ,perubahan keseimbanagn zat ini dapat memburuk
atau menghambat prilaku agresif . Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai
neurotransmiter (epineprin,norepineprin,dopamine,acetylcolin dan serotinin)
berperan dalam fasilitasi dan inhibisi rangsangan agresif
(Sadock&Sadock,2007 dalam Townsend,2009) Rendahnya neurotransmiter
serotonin di kaitkan dengan prilaku iritabilitas,Hipersensitifitas terhadap
provokasi,dan prilaku amuk. Individu dengan prilaku inpulsif, bunuh diri, dan
melakukan pembunuhan,mempunyai serotononin dengan jumlah rendah daripada
rata-rata jumlah asam 5-hidroxynoleacetik (5-HIAA)/produk serotonin
(Stuart,2009).
Penelitian
ini telah menunjukan adanya hubungan antara agresif inpulsif dengan rendahnya
level neurotransmiter serotonin Hasil temuan menyatakan bahwa serotonin
berperan sebagai inhibitor utama prilaku agresif,dengan demikian kadar
serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan prilaku agresif, selain itu
peningkatan aktiitas dopamine dan norepineprin di otak di kaitkan dengan
prilaku kekerasan yang inpulsif (Kavousi et al.1997 dalam Videback,2008;Frandle
et al, 2005;. Perusse & Gendreu,2005; Pihl & Benkelfat ,2005 dalam
Fontaine,2009).
Neurotransmiter lain yang berkaitan dengan
prilaku agresif adalah dopamine,norepineprin, dan acetylcolin serta asam amino Gamma-aminobutyric
acid (GABA). Korteks prefrontal juga berperan penting dalam menghambat
prilaku agresif.Area spesifik pada korteks prefrontal adalah Region
obitofrontal. Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada
area ini menyebabkan prilaku infilsiuf (stuart & laraia, 20005. Stuart
2009).
4. Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang
berhubungan dengan prilaku kekerasan adalah riayat penggunaan obat NAPZA dan
frekuensi dirawat. Penggunaan napza akan mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi
terapi dan perawatan yang diberikan (Dyha,2009). Frekuensi dirawat menunjukan
seberapa sering individu dengan prilaku kekerasan mengalami kekambuhan. Prilaku
kekerasan pada skezoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak
terkontrol, putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu
atau situasi yang menciptakan prilaku kekerasan (stuart & laraia, 2005;
stuart, 2009). Secara umum dua populasi klien akan meningkatkan resiko
kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif dan penyalah gunaan zat (Nolan
et al. 2003 dalam stuart, 2009). Prilaku kekerasan juga meningkat pada klien
penyalah gunaan zat, skizoprenia dan tidak mengambil obat yang diresepkan,
hidup bersama dalam orang yang mengalami gangguan jiwa ( Citrome dan Volavka,
1999 dalam Videback, 2008).
b.
Faktor Psikologis
Faktor
psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi dalam proses
terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Menurut stuart dan Laraia (2005) yang
termasuk dalam faktor psikologis diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu,
konsep diri, dan pertahanan psikologi diantaranya kepribadian, pengalaman masa
lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi.
1) Teori
psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif
menyatakan bahwa pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau
pengalaman hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih mekanisme yang
bukan perilaku kekerasan. Faktor
perkembangana atau pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence menurut Stuart dan Laraia
(2009) sebagai berikut:
gangg uan otak organik, mental reterdasi,
ketidakmampuan belajar karena kerusakan kapasitas bertindak secara efektif
terhadap anak, orang tua yang terlalu penyayang dan berkontribusi pada kurang
rasa percaya dan harga rendah diri; mengalami kekerasan bertahun-tahun, korban child abuse atau sering melihat
kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola oenggunaan kekerasan sebagai
cara menyelesaikan masalah.
2) Teori
pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku
agresif dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran
internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu mendapat
penguatan pribadi ketika melakukan perilaku agresif kemungkinan sebagai kepuasan dalam mencapai
tujuan atau pengalaman merasa penting,
mempunyai kekuatan dan control terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal
terjadi selama observasi medel peran seperti peran sebagai orang tua,
teman sebaya, saudara, oleh raga dan tokoh hiburan (Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009).
Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku
imitasi/meniru perilaku agresif sebagai perilaku yang dapat diterima untuk
memecahkan masalah dan sesuai status sosial. Peran pemodelan merupakan salah
satu bentuk pembelajaran terkuat, model perilaku anak-anak pada fase awal
adalah orang tua, bagaimana orang tua atau orang terdekat mengekspresikan marah
menjadi contoh anak dalam ekspresi marahnya (Townsend, 2009)
Role model/contoh tidak selalu dirumah, penelitian
membuktikan bahwa acara kekersan ditelevisi sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif (American Psychological
Assocation,2006, dalam Townsend, 2009). Menurut American Psychological Assocation,, (2006, dalam Townsend, 2009)
menyarankan pentingnya pengawasan terhadap apa yang anak lihat dan peraturan
tentang acara kekerasan dimedia untuk mencegah pemodelan kekerasan. Faktor
psikologis lain dapat berupa kegagalan, kegagaglan dapat berakibat frustasi
(Stuart & Laraia, 2005).
Kegagalan sering diartikan oleh individu oleh
ketidakmampuan, respon yang mucul pada saat individu mengalam kegagalan dapat
berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang ditunjukan dengan
perilaku kekerasan (Dyah, 2009).
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor
predisposisi terjadi perilaku kekerasan pada individu. Karakteristik yang
termasuk pada sosial budaya seperti: usia, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, pendidikilaku dan tingkat sosial ekonomi (Stuart & Laraia,
2005; Stuart, 2009), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu (Stuart, 2009).
Faktor lingkungan dan situasi perawatan bias sebagai memicu perilaku kekerasan
klien, faktor ini meliputi fasilitas fisik, keberadaan petugas dank lien lain.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah inseden kekerasan lebih besar
terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang
privasi atau tidak bebas.
1) Jenis
kelamin
Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis
kelaim merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang
berbeda. Laki-laki lebih sering melakukan perilaku agresif (Stuart &
Laraia, 2005). Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa karakteristik
jenis kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p value
0,001) dank lien laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan,
serta usia yang paling banyak 30 tahun kebawah (Keliat, 2003).
Namun berdasarkan penelitian Keliat dkk, (2008) pada
penelitian karakteristik klien yang dirawat dibangsal MPKP menyebutkan ada
63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada golongan umur dewasa
yaitu umum33 tahun sampai 55 tahun.
2) Tingkat
sosial ekonimi
Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan seperti : kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutruuhan hidup,
masalah perkawinan, keluarga single
parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal dalam
keluarga, struktur keluarga, dan control sosial (Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend, 2009).
Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi
ungkapan marah individu (Keliat & Sinaga, 1991). Aspek spiritual adalah
komponen kehidupan individu yang terkait dengan falsafah hidup, nilai,
keyakinan dan religi ( Rawlins, et. al, 1993 dalam keliat, 2003).
Faktor lain yang berhubungan dengan kekerasan secara
sosial termasuk kurangnya dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau masalah
keuangan, akses yang mudah ke senjata dan kecenderungan budaya Amerika Serikat untuk memanfaatkan perilaku
kekerasan sebagai solusi untuk pemecahan masalah (Woodside & McClum, 2006
dalam Fontaine, 2009).
3) Ras/
Suku
Faktor sosiokultural lainnya adalah norma budaya yang
dapat membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat mendorong untuk mengekspresikan marah secara
asertif sehingga membantu menjaga kesehatan diri. Norma yang mereinforcement
perilaku kekerasan akan berakibat ekspresi marah dan cara destruktif. Sindroma
ikatan dua budaya mencangkup perilaku agresif, Bouffee delirante suatu kondisi yang terlihat pada masyarakat
Afrika Barat dan Haiti, ditandai dengan ledakan perilaku agresif dan agitasi
secara tiba-tiba, kebingungan yang nyata dan psychomotor excitement, episode ini dapat mencakup halusinasi
pendengaran dan penglihatan serta pikiran panaoid yang menyerupai episode
psikotik singkat (Mezzich et al., 2000 dalam videbeck, 2008)
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor Biologi
Stressor
presipitasi adalah stimuli yang di terima individu sebagai tantangan,ancaman
atau tuntutan. Stressor presipitasi prilaku kekerasan dari faktor biologi dapat
di sebabkan oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur jumlah dan waktu
dalam proses informasi.Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awalnya di
saring oleh hipotalamus dan di kirim untuk di proses oleh lobus frontal dan
bila informasi yang di sampaikan terlalu banyak pada suatu atau jika informasi
tersebut salah,lobus frontal akan mengirimkan pesan overload ke ganglia basal
dan di ingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal
menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam penyampaian informasi yang
menghasilkan proses informasi overload
(Stuard & Laraia,2005 ;Stuard,2009).
Stressor presipitasi yang lain adanya abnormal
pada pintu mekanisme adalah proses elektrik yang melibatkan elektrolit,hal ini
memicu penghambatan saraf dan rangsang aksi dan umpan balik yang terjadi pada
sistem syaraf.penurunan pintu mekanisme /gating proses ini di tunjukan dengan
ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli secara selektif (Hong et al;2007
dalam Stuart, 2009). Menjadi faktor biologi lainyayang merupakan predisposisi
dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor,baik internal
lingkungan eksternal individu.waktu dan frekuensi terjadinya stressor prilaku untuk
di kaji (Stuart & Laraia ,2005).
b. Faktor Psikologis
Pemicu prilaku kekerasan dapat di
akibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah ,koping individu yang
tidak efektif,impulsive dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman
terhadap keberadaan dirinya ,tubuh atau kehidupan .dalam ruang perawatan
.prilaku kekerasan dapat terjadi karena provokasi petugas, prilaku kekerasan
terjadi pada setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter dan
cenderung mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh klien ,menahan
klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk minum obat ,semua
itu prilaku agresif /kekerasan dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti
marah ,ansietas rasa bersalah ,frustasi atau kcurigaan (Townsend,2009)
c. Faktor Sosial Budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa
jumlah insiden kekerasan lebih besar terjadi ketika klien di pindahkan dalam
kelompok besar terjadi ketika klien di pindahkan dalam kelompok yang besar
,penuh sesak ,kurang privasi atau tidak bebas .Menurut Fagan-Pyor et al .(2003
dalam Stuart,2009) petugas mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memicu
prilaku klien untuk melakukan kekerasan ,ketidak pengalaman petugas,provokasi
petugas ,menejemen lingkungan yang buruk ,ketidak pahaman petugas ,pertemuan
fisik yang terlalu dekat ,penetapan batasan yag tidak konsisten dan budaya
kekerasan mempengarungi prilaku kekerasan klien .akhirnya pemahaman terhadap
situasi dan penerimaan lingkungan ,kognitif dan stess komunikasi serta respon afektif klien perlu di identifikasi
oleh petugas.selanjutnya perlu di kaji asal stressor sosiokultural ,waktu
terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu
waktu (Stuart & Laraia ,2005 ) Dengan demikian banyak sekali stressor
sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus
prilaku kekerasan.
3. Penilaian Stressor
Model stress Diatesis dalam sebuah
karya klasik oleh Liberman dan rekan (1994) menjelaskan bahwa gejala
sskizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan antara jumlah stress dalam
pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap ambang stress. Ini adalah
model penting karena mengintegrasikan
faktor budaya biologis ,psikologis,dan social ,cara ini mirip dengan stress
adaptasi model stuart yang di guinakan sebagai kerangka kerja konseptual
(Stuart ,2009). Menurut Wuerker (2000) model adaptasi ini membantu menjelaskan
hubungan stress dengan skizofrenia ,meskipun tidak ada penelitian ilmiah telah
menunjukan bahwa stress menyebabkan skizofrenia ,namun semakin jelas bahwa
skizofrenia adalah gangguan yang tidak hanya menyebabkan stress ,tetapi juga di
perparah oleh stress (Jones dan Fernyhougi ,2007 dalam Stuart ,2009). Penilaian
seseorang tentang stressor ,dan masalah yang terkait dengan koping untuk
mengatasi stress dapat memprediksi timbulnya gejala.
4. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah
penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik
bagi klien dan keluarga .Proses penyesuaian paska psikotik terdiri dari empat
fase : (1). Disonansi kognitif (psikosis aktif) ,(2) pencapaian wawasan, (3)
stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan kognitif) dan (4) bergerak
terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan (ordinariness). Proses multifase
penyesuaian dapat berlangsung 3 samapi 6 tahun ( Moller 2006 ,dalam stuart
,2009) :
a. Efikasi /kemanjuran
pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala dan menstabilkan disonasi
kognitif setelah episode pertama memakan waktu 6 sampai 12 bulan.
b.
Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan
pemerikasaan realitas yang dapat diandalkan .pencapaian keterampilan ini
memakan waktu 6 sampai 18 bulan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan
dukungan yang berkelanjutan .
c.
Setelah mencapai pengenalan diri/insight ,proses pencapaian
kognitif meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan
bekerja .fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d.
Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai
dengan kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari – hari
mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.sumber
daya keluarga,seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit , keuangan
,ketersediaan waktu dan energi,dan kemampuan untuk menyediakan dukungan yang
berkelanjutan mempengaruhi jalanya penyeseuaian postpsychotic.
5. Mekasnisme koping
Pada fase aktif psikosis
klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri dalam upaya untuk
melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang di sebabkan oleh penyakit
mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi pengolahan dan
pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk mengelola kegelisahan
,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari- hari. Proyeksi adalah upaya
untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan reponsibility kepada
seseorang atau sesuatu .Penarikan diri ini berkaitan dengan masalah membangun
kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal.
Keluarga sering
mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari pertama kali diagnosis
relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi ketika seseorang menerima
informasi yang menyebabkan rasa takut dan kecemasan .hal ini memungkinkan waktu
seseorang untuk mengumpulkan sumber daya internal dan eksternal dan kemudian
beradaptasi dengan stressor secara bertahap. Pada klien penyesuaian
postpsychikotik proses aktif menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini
termasuk kognitif, emosi,interpersonal,fisiologis,dan spiritual strategi
penanggulangan yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi
keperawatan ( Stuart ,2009).
A. Daftar
Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1. Masalah
keperawatan: Diagnosis Keperawatan NANDA-I rentang respon neurobilogis,
skizofrenia dan gangguan psikotik (Stuart, 2009):
§ Anxiety
§ Imperaide
Verbal Communication *
§ Confusion,Acute
§ Compromised
family coping
§ Ineffective
coping
§ Decisional
§ Hopelessness
§ Impaired
memory
§ Noncompliance
§ Disturbed
personal identity
§ Ineffective
role performance
§ Self
care deficit (bathing/ hygiene, dressing/ grooming)
§ Disturbed
sensory perception*
§ Impaired
social interaction*
§ Social
isolation
§ Risk
for suicide
§ Ineffective
therapeutic regiment management
§ Disturbed
thought processes*
§ (*Diagnosis
keperawatan primer rentang respon neurobiologis, skizofrenia dan gangguan
psikotik)
2. Data
yang perlu dikaji pada masalah keperawatab perilaku kekerasan
Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan dapat
dinilai dari ungkapan pasien dan dukungan
hasil observasi
a. Data
Subjektif:
a. Ungkapan
berupa ancaman
b. Ungkapan
kata-kata kasar
c. Ungkapan
ingin memukul/ melukai
b. Data objektif:
1) Wajah
memerah dan tegang
2) Pandangan
tajam
3) Mengatupkan
rahang dengan kuat
4) Mengepalkan
tangan
5) Bicara
kasar
6) Suara
tinggi, menjerit atau berteriak (Kemenkes RI, 2012)
B. Pohon
masalah
Menurut
keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
A.
Diagnosis
1.diagnosis keperawatan :
risiko prilaku kekerasan
2.
diagnosa medis : skizoprenia
F.
Rencana tindakan
1. Rencana
tindakan keperawatan generalis
Diagnosa keperawatan
|
Sp/kemampuan klien
|
Sp/kemampuan keluarga
|
Resiko prilaku kekerasan
|
Sp 1.
·
Identifikasi penyebab tanda
dan gejala ,pk yang di lakukan ,akibat pk
·
Jelaskan cara mengontrol pk :
fisik,obat,verbal,spiritual
·
Latihan cara mengontrol pk
secara fisik : tarik napas dalam dan pukulkasur dan bantal.
·
Masukan pada jadwal kegiatan
untuk latihan fisik.
|
Sp.1
·
Diskusikan masalah yang
dirasakan dalam merawat klien
·
Jelaskan pengertian ,tanda
dan gejala dan proses terjadinya pk (gunakan booklet)
·
Jelaskan cara merawat pk
·
Latih satu cara merawat pk
dengan melakukan kegiatan
Fisik :tarik nafas dalam dan pukul bantal
·
Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan memberi pujian
|
Sp.2
·
Evaluasi kegiatan latihan
fisikn,beri pujian
·
Latih cara mengontrol pk
dengan obat jelaskan 6 benar obat : jenis,guna dosis,frekuensi
,cara,kointuinitas minum obat
·
Masukan pada jadwal kegiatan
untuk latihan fisik dan minum obat.
|
Sp.2
·
Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih
·
Jelaskan 6 benar member obat
·
Latih cara memberikan
/membimbing minum obat
·
Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan beri pujian
|
|
Sp.3
·
Evaluasi kegiatan latihan
fisik & obat,beri pujian
·
Latih cara mengontrol pk
secara verbal ( 3 cara yaitu mengungkapkan ,meminta,menolak dengan benar)
·
Memasukkan pada jadwal
kegiatan untuk latihan fisik ,minum obat dan verbal
|
Sp.3
·
Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat/melatih pasien fisik dan memberikan obat,beeri pujian
·
Latih cara membimbing ,cara
bicara yang baik.
·
Latih cara membimbing kegiatan spiritual
·
Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan member pujian
|
|
Sp.4
·
Evaluasi kegiatan latihan
fisik dan obat,verbal,beri pujian
·
Latihan cara mengontrol
spiritual ( 2 kegiatan )
·
Masukkan pada jadwal kegiatan
untuk latihan fisik minum ,obat,verbal dan spiritual
|
Sp.4
·
Evaluasi kegiatan keluarha
dalam merawat /melatihpaisen ,fisik,memberikan obat,latihan bicara yang
baik dan kegiatan spiritual , beri
pujian
·
Jelaskan follow up ke RSJ
/pkm ,tanda kambuh ,rujukan
·
Anjurkan membanntu pasien
sesuai jadwal dan memberikan pujian
|
2.Rencana
tindakan keperawatan spesialis :
§ Therapy
individu : terapi prilaku ,CBT,REBT,RECBT,ACT.
§ Therapy
kelompok : psikoedukasi kelompok ,terapi
suportif ,SHG
§ Therapy
keluarga : Triangle terapi,psikoedukasi keluarga
§ Therapy
komunitas : assertive community therapy
G. Rencana
tindakan medis/psikofarmaka :
a.Anti
spikotik
§ Chlorpromazine
(promactile,largactile )
§ Haloperidol
(Haldol,serenace,lodomer)
§ Stelazine
§ Clozapine
(clozaril )
§ Risperidon
(risperdal )
b.Anti
parkingson
§ Trihexyphenidile
§ Arthan
Prinsip
Titrasi/Model Pengobatan Psikofarmaka: (Maslim, R, 2007)
§ Respon
terhadap obat bersifat individual dan
perlu pengaturan secara empiric (theraupetic
trail)
§ Pengaturan
dosis biasanya dimulai dengan dosis awal
(dosis anjuran), dinaikkan secara cepat sampai mencapai dosis efektif (dosis mulai berefek supresi
gejala sasaran), dinaikan secara gradual sampai mencapai dosis optimal (dosis mampu mengendalikan
gejala sasaran) dan dipertahankan untuk jangka waktu tertentu sampai
disertai terapi lain (non medikamentosa)< kemudian diturunkan secara gradual
sampai mencapai dosis peralihan
(maintenance dose) yaitu dosis terkecil yang masih mampu mencegah kambuhnya
gejala.
§ Bila
sampai jangka waktu tertentu dinilai sudah cukup mantap hasil terapinya, dosis
dapat diturunkan secara gradual sampai berhenti
pemberian obat (tapering off)
Prinsip Pemilihan Antipsikotik: (Maslim, R,
2007)
§ Anti
spikotik APG 1 (CPZ ,Trifluoperazine,Heloperidol) memblokade dopamine pada
reseptor pasca sinaps neuron di otak khususnya disistem limbik dan system
ekstrapimidal ( dopamine D2 receptors antagonis) sehingga efektif untuk gejala
positif
§ Antipsikotik APG II (clozapine,resperidon,olazapine,qutiapine,zotepine,ariparizole ziprasidone-( di Indonesia belum ada ) memblokade dopamine D2 reseptor terhadap
serotonin 5 HT reseptors sehingga efektif untuk gejala positif dan negative.
BAHAN
BACAAN
Dyah W (2009) .pengaruh assertive training
terhadap perilaku Kekerasan pada klien
skizoprenia,tesis.jakarta.FIK UI.tidak dipublikasikan
Keliat,B.A,(2005).Modul Basic Course
Community Mental Health Nursing.kejasama FIK UI dan WHO
Keliat,B.A,&Akemat.(2005).keperawatan
jiwa terapi aktivitas kelompok.jakarta :EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar