1.
Definisi
Penyakit
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma sumsum tulang belakang yang mengakibatkan kerugian
atau gangguan fungsi menyebabkan
mobilitas dikurangi atau perasaan. Penyebab umum
dari kerusakan adalah
trauma (kecelakaan mobil, tembak, jatuh, cedera
olahraga, dll)
atau penyakit (myelitis
melintang, Polio, spina bifida, Ataksia Friedreich, dll). Sumsum tulang belakang tidak harus dipotong agar hilangnya fungsi terjadi. Pada kebanyakan orang dengan
SCI, sumsum tulang belakang masih utuh, tetapi kerusakan selular untuk itu mengakibatkan hilangnya fungsi. SCI
sangat berbeda dari cedera punggung seperti
disk pecah, stenosis tulang belakang atau
saraf
terjepit.
1.
Etiologi
Cedera
tulang belakang yang
paling sering traumatis, disebabkan oleh lateral
yang lentur, rotasi dislokasi, pemuatan aksial, dan hyperflexion atau hiperekstensi
dari kabel atau cauda
equina.
Kecelakaan
kendaraan bermotor
adalah penyebab paling umum
dari SCI, sedangkan penyebab lain meliputi jatuh, kecelakaan kerja,
cedera olahraga (menyelam, judo dll),
dan
penetrasi seperti luka tusuk atau tembak, kecelakaan di rumah (jatuh dr ketinggian, bunuh diri dll), dan bencana alam, misal
gempa. SCI juga dapat menjadi asal non-traumatik,. Seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram intervertebralis, cedera tulang
belakang, penyakit sumsum
tulang belakang vascular, transverse myelitis,
tumor dan multiple
sclerosis.
2.
Manifestasi
Klinis
Manifestasi
klinis bergantung
pada lokasi yang mengalami trauma dan
apakah
trauma terjadi secara parsial atau total.(Gbr.9) Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi trauma :
·
Antara C1 sampai
C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien
meninggal.
·
Antara C5 dan
C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks
brachioradialis.
·
Antara C6 dan
C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan;
kehilangan refleks bisep.
·
Antara C7 dan
C8
Paralisis kaki
dan tangan
·
C8 sampai
T1
Horner's
syndrome (ptosis, miotic pupils, facial
anhidrosis), paralisis kaki.
·
Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di
atas dan bawah lutut.
·
T12 sampai L1
Paralisis di bawah
lutut.
·
Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan
sangat sensitive
terhadap
sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
·
S3
sampai S5 atau conus medullaris
pada L1
1.
Deskripsi
patofisiologi (Berdasarkan Kasus kegawatdaruratan)
Cedera
spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera
spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang
sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera
spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan
atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih.
Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial
komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung
pada lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan
mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular
total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan
kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas
sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk
melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal
C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan
menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan
terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot
interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau
dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik,
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
2. Tahapan / Grade/ Tingkatan Penyakit (contoh Gagal
Jantung, Kanker, CKD, dll)
Cedera
Medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah
lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla
spinalis inkomplet. Menurut American
Spinal Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Cord
Syndrome, (3) Brown
Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome,
dan (5) Conus Medullaris Syndrome. Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior Cord Syndrome
Central
Cord Syndrome
(CCS) biasanya terjadi
setelah
cedera hiperekstensi. Sering terjadi
pada individu di
usia
pertengahan dengan spondilosis cervicalis.
Predileksi lesi yang paling
sering adalah medulla spinalis segmen servikal,
terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan
medulla spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medulla spinalis
yang paling
rentan adalah bagian dengan vaskularisasi yang paling
banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling
menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis
traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan
dapat meluas sampai 1-2
segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome
menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang
mengindikasikan adanya edema. Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah
kelemahan yang
lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih
cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling
sering adalah setinggi
VC4-VC5
dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada
beberapa kasus
dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral.
a.
Klasifikasi berdasarkan keparahan
1.
Klasifikasi
Frankel
:
Grade A : motoris (-), sensoris
(-) Grade B : motoris
(-),
sensoris
(+)
Grade C : motoris
(+) dengan ROM 2
atau 3, sensoris
(+) Grade D : motoris
(+) dengan ROM 4, sensoris
(+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)
2.
Klasifikasi
ASIA
(American Spinal Injury Association)
Grade A : motoris (-), sensoris
(-) termasuk pada segmen sacral
Grade B :
hanya sensoris (+)
Grade C : motoris
(+) dengan kekuatan
otot <
Grade D : Motoris
(+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal
3. Pemeriksaan Penunjang
·
Evaluasi Klinik
Ketika
pasien yang mengeluh sakit leher, meskipun mereka tidak benar-benar terjaga,
atau ketika mereka telah jelas kelemahan. Kita harus mewaspadai adanya SCI,
dari tanda dan gejala diatas dengan pemeriksaan radiologi.
·
Pemeriksaan Radiologi
Pasien
dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography (CT scan atau CAT)
dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang belakang. Karena alasan
diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada
semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD
kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang
belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila
perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi
bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan
proses odontoid pada bidang antero-posterior.
·
Intensive Care Unit
Standar
perawatan ICU, termasuk menjaga tekanan darah yang stabil, pemantauan fungsi
cardiovascular, memastikan ventilasi yang memadai dan fungsi paru-paru, dan
mencegah infeksi dan segera merawat dan komplikasi lain, adalah penting agar
SCI pasien dapat mencapai hasil yang terbaik.
·
Steroid Therapy
Methylprednisolone,
sebuah obat steroid, menjadi tersedia sebagai perawatan untuk SCI akut pada
tahun 1990 ketika seorang multicenter percobaan klinis menunjukkan lebih
neurological mengubah skor di pasien yang diberi obat di dalam delapan bulan
pertama dari cedera.
4.
Penatalaksanaan
Medis/Operatif
·
Penatalaksaan Medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan
vertebral dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung
IV untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila
memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang
meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada
tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan
fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau
insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada
pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat
dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal
servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis
mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89).
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan
menggunakan glukortiko steroid intravena
·
Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada
neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area
yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung
kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak
terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien
terhadap kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C
(Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin memburuk.
5.
Pemeriksaan
fisik (Berdasarkan ABCD/Kasus Kegwatdaruratan)
Pengkajian
1.
Riwayat Penyakit
Sebelumnya
·
Apakah klien
pernah
menderita
:
·
Penyakit stroke
·
Infeksi otak
·
DM
·
Diare dan muntah yang berlebihan
·
Tumor otak
·
Intoksiaksi insektisida
·
Trauma kepala
·
Epilepsi dll.
2.
Pemeriksaan Fisik
·
Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan
tambahan
·
Sistem kardiovaskuler
Bardikardia,
hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
·
Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
·
Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan,
adanya quadriplegia,
paraplegia.
·
Refleks Tendon
Adanya
spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post
spinal shock seperti adanya hiperefleksia
( pada gangguan upper
motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN).
·
Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi
sebagian atau
seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
·
Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor,
kerusakan termoreguler.
·
Autonomik
hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya
nyeri kepala,
peningkatan
tekanan
darah, bradikardia,
hidung tersumbat, pucat
dibawah
garis
kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan.
·
Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress
ulcer, feses keras atau
inkontinensia.
·
Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
·
Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak
sendi (ROM)
·
Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal
dekubitus
·
Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi,
ejakulasi, menstruasi tidak teratur.
·
Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah
keuangan, hubungan dengan masyarakat.
6.
Diagnosa
Keperawatan yang mungkin muncul dan
Prioritas Diagnosa
·
Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan kelumpuhan otot diafragma, kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan
interkostal serta ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
·
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kelumpuhan, sensorik dan motorik
·
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan adanya cedera, pengobatan dan namanya imobilitas.
·
Gangguan eliminasi alvi /konstipasi
berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rectum, adanya atonik
kolon sebagai akibat gangguan autonomic.
Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
·
Gangguan integritas kulit berhubungan
dengan tirah baring lama, kehilangan sensori dan mobilitas
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma
Spinal:
·
Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah
dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang
pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan
’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar
(rotation). Baringkan
penderita dalam
posisi
terlentang
(supine) pada tempat/alas
yang keras.
Pasien diangkat/dibawa dengan
cara ”4 men lift” atau
menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
·
Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
o Periksa vital
signs
o Pasang
’nasogastric tube’
o Pasang kateter
urin
o Segera normalkan ’vital signs’.
Pertahankan tekanan darah yang
normal dan perfusi jaringan yang baik.
Berikan
oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor
AGD
(analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock. Pemberian megadose
Methyl
Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6
jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
·
Mempertahankan posisi
normal vertebra (”Spinal
Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong
atau Gardner-Wells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus.
Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
·
Dekompresi
dan
Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’
artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup
ini gagal
maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’anterior atau
posterior.
·
Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah ’bladder
training’, ’bowel training’,
latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda
bagi penderita paraparesis/paraplegia.
RENCANA ASUHAN
KEPERAWATAN
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Perencanaan
|
||
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)
|
Intervensi (NIC)
|
Aktivitas (NIC)
|
||
1
|
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma, kelemahan
dengan paralisis otot abdominal dan interkostal serta ketidak mampuan untuk
membersihkan sekresi
Do: sesak nafas, terdapat
tarikan diafragma, sianosis, hasil GDA: PaO2 < 80, PaCo2 > 45, RR = 28
x/menit
Ds: pasien mengatakan kesulitan
bernafas
|
Setelah dilakukan tindakan
pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:
vMendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang
bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dg mudah, tidakada pursed lips)
vMenunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
vTanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah,
nadi, pernafasan)
|
Airway management
|
1.
Posisikan
pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.
Pasang
mayo bila perlu
3.
Lakukan
fisioterapi dada jika perlu
4.
Keluarkan
sekret dengan batuk atau suction
5.
Auskultasi
suara nafas, catat adanya suara tambahan
6.
Berikan
bronkodilator :
7.
Berikan
pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
8.
Atur
intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
9.
Monitor
respirasi dan status O2
10. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
11. Pertahankan
jalan nafas yang paten
12. Observasi
adanya tanda tanda hipoventilasi
13. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
14. Monitor vital
sign
15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik
relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
16. Ajarkan bagaimana batuk efektif
17. Monitor pola nafas
|
2
|
Kerusakan mobilitas
fisik berhubungan dng kelumpuhan, kerusakan muskuloskelettal dan
neuromuskuler
Do: ada kontraktur, kekuatan otot (ROM menurun), cedera atau lesi pada
servikal
Ds: pasien
mengatakan tidak dapat melakukan pergerakan pada tangan dan kaki
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan
mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:
v Klien
meningkat dalam aktivitas fisik
v Mengerti
tujuan dari peningkatan mobilitas
v
Memverbalisasikan
perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
·
Memperagakan
penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi
|
Activity
Daily Living
|
1.
Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
2.
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
3.
Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
4.
Berikan
alat Bantu jika klien memerlukan.
5.
Ajarkan
pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
6.
Bantu pasien makan dan minum
(menyuapi, mendekatkan alat-alat dan makanan/minuman)
7.
Pertahankan kesehatan dan
kebersihan mulut pasien
8.
Bantu pasien mamakai pakaiannya
9.
Libatkan keluarga dan ajarkan cara
memakaikan pakaian pada pasien
10. Memandikan
pasien
11. Libatkan
keluarga untuk membantu memandikan pasien
12. Lakukan
perawatan mata, rambut, kaki, mulut, kuku dan perineum
13. Bantu
pasien bak/bab
14. Lakukan
perawatan inkontinensia usus
15. Manajemen
nutrisi
16. Libatkan
keluarga dalam perawatan
|
3
|
Gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan dengan adanya cedera, pengobatan dan namanya imobilitas
Do: wajah pasien meringis, skala nyeri 4-6, luka atau lesi di tempat yang
mengalami cedera
Ds: pasien mengeluh nyeri pada daerah yang cedera
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Pasien tidak mengalami nyeri,
dengan kriteria hasil:
·
Mampu mengontrol nyeri (tahu prnyebab nyeri,
mampu menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mencari nyeri, mencari
bantuan)
·
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan
menggunakan manajemen nyeri
·
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri)
·
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
·
Tanda vital dalam rentang normal
·
Tidak mengalami gangguan tidur
|
·
Paint management
·
Analgetic administration
|
Paint Management
1.
Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
2.
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3.
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
4.
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5.
Kurangi faktor presipitasi nyeri
6.
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
7.
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin
8.
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
9.
Monitoring vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Analgetic
Administration
1.
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
2.
Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis,
frekuensi
3.
Cek riwayat alergi
4.
Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian obat
|
4
|
Gangguan eliminasi alvi
/konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rectum,
adanya atonik kolon sebagai akibat gangguan autonomic
Do: jika dilakukan palpasi pada abdomen akan didapatkan tegang atau keras
pada abdomen pasien,
Ds: pasien mengatakan tidak dapat atau sulit untuk BAB
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan konstipasi pasien teratasi dengan kriteria
hasil:
v
Pola
BAB dalam batas normal
v
Feses
lunak
v
Cairan
dan serat adekuat
v
Aktivitas
adekuat
v
Hidrasi
adekuat
|
Manajemen Usus (0430)
Bowel Training (0440) |
1. Identifikasi
faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi
2. Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis
3.
Jelaskan
penyebab dan rasionalisasi tindakan pada pasien
4.
Konsultasikan
dengan dokter tentang peningkatan dan penurunan bising usus
5. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi yang
menetap
6. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat)
terhadap eliminasi
7. Jelaskan pada klien konsekuensi menggunakan laxative
dalam waktu yang lama
8.
Kolaburasi
dengan ahli gizi diet tinggi serat dan cairan
9.
Dorong
peningkatan aktivitas yang optimal
10. Sediakan privacy dan keamanan selama BAB
|
5
|
Perubahan pola
eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan, ketidakmampuan
untuk berkemih spontan
Do: produksi
urine < 50 cc/jam, luka karena cedera spinal, adanya distensi bladder
Ds: pasien
mengaku kesulitan saat berkemih, dan berkemihnya juga jarang
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan eliminasi urine pasien terpenuhi
dengan criteria hasil: 1. Pengosongan kandung kemih komplit 2. Mampu menahan/mengontrol urine 3. Terbebas dari ISK |
manajemen
eliminasi urin
Perawatan
Retensi Urin
|
1.
Monitor eliminasi urine (frekuensi,
konsistensi, bau, volume, warna)
2.
Monitor tanda dan gejala retensi
urine
3.
Ajarkan pada pasien tanda dan
gejala ISK
4.
Catat waktu urinal terakhir jika
diperlukan
5.
Libatkan pasien/keluarga untuk
mencatat urine output jika diperlukan
6.
Masukkan suppositoria uretral jika
diperlukan
7.
Siapkan specimen urine midstream
untuk analisa jika perlu
8.
Laporkan ke dokter jika ditemukan
tanda dan gejala ISK
9.
Anjurkan pasien minum 8 gelas sehari
saat makan, anatara makan dan saat pagi hari
10. Bantu
pasien mengatur toileting rutin kalau perlu
11. Anjurkan
pasien untuk memeonitor tanda dan gejala ISK
12. Berikan
prifasi untuk eliminasi urin
13. Gunakan
kekuatan sugesti dengan aliran air untuk memancing eliminasi
14. Stimulasi
reflek kandung kencing dengan pemberian kompres dingan pada abdomen atau
dengan mengalirkan air
15. Berikan
waktu yang cukup untuk me-ngosongkan kandung kencing (10 menit)
16. Gunakan
manuver Crede jika diperlukan
17. Masukkan
kateter urin jika diperlukan
18. Monitor
intake dan output cairan
19. Monitor
adanya distensi kandung kencing dengan palpasi atau perkusi
20. Bantu
toileting dengan jarak teratur jika memungkinkan
21. Lakukan
kateterisasi untuk residu, jika perlu
22. Lakukan
kateterisasi secara intermiten jika perlu
23. Rujuk
ke ahli urinary Continance jika perlu
|
6
|
Gangguan integritas
kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan sensori dan imobilitas
Do: adanya kemerahan, bernanah, kulit lembab, luka dekubitus
Ds: pasien
mengatakan nyeri pada punggung
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan, Gangguan
integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil:
v
Integritas
kulit yang baik bisa dipertahankan
v
Melaporkan
adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan
v
Menunjukkan
pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera
berulang
v
Mampu
melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
v
Status
nutrisi adekuat
v
Sensasi
dan warna kulit normal
|
Pressure Management
|
1.
Anjurkan
pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2.
Hindari kerutan padaa tempat tidur
3.
Jaga
kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4.
Mobilisasi
pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
5.
Monitor kulit akan adanya kemerahan
6.
Oleskan
lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
7.
Monitor aktivitas dan mobilisasi
pasien
8.
Monitor status nutrisi pasien
9.
Memandikan
pasien dengan sabun dan air hangat
10. Gunakan pengkajian risiko untuk memonitor faktor risiko
pasien (Braden Scale, Skala Norton)
11. Inspeksi
kulit terutama pada tulang-tulang yang menonjol dan titik-titik tekanan
ketika merubah posisi pasien.
12. Jaga
kebersihan alat tenun
13. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein, mineral dan vitamin
14. Monitor serum albumin dan transferin
|
Daftar Pustaka
http://dedexdox.blogspot.com/2009/03/keperawatan-medical-surgical.html
http://suka2-bayu.blogspot.com/2011/11/askep-spinal-cord-injury.html
http://askepdoumbojo.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-cedera-medulla.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar