1. DEFINISI
SLE
merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) .
SLE
(Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai
macam autoantibodi dalam tubuh. (Albar, 2003)
Penyakit
lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh
sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau
trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus
yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya,
yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks
imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel.
Prevalensi penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka
kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen,
dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan
penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno,
dkk, 2009)
2. EPIDEMIOLOGI
Penderita
SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus
Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3
– 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada
ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga
Filipina.
Di
Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden
berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE
di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang
hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini
ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika.
Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan
di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.
Di
Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita
SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan
prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis,
reumatoid artritis, dan low back pain.
3. ETIOLOGI
Faktor
genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit SLE.
Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.
Faktor
lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit.
SLE
dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan degan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda asing
tersebut. (Herfindal et al, 2000)
Infeksi
virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)
4. PATOFISIOLOGI
Penyakit
SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara lain: faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti
oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada
SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
5. KLASIFIKAS
Penyakit
Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid
Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus
Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau
cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan
folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic
Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan
sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati
otak dan sistem saraf. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
Lupus
yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan
(Herfindal et al., 2000).
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi
klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
Sistem
Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi,
nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
Sistem
integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk
kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
Sistem
cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
Sistem
pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin
disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika
gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga
menimbulkan pankreatitis.
Sistem
pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi
daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura.
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis
pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti
infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
Sistem
vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
Sistem
perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi
paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom
nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus
SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada
ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa.
Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis
biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi
ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang
ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan
serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal
merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
Sistem
saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
7. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan
menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
Pemeriksaan
Fisik
Meliputi
pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.
Inspeksi
: bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak & kemerahan
pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak adanya
deformitas dan tampak adanya lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi pasien atau tidak.
Ada ruam pada wajah dan leher klien atau tidak.
Palpasi
: raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak, pergerakan
nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah abdomen dan
daerah ekstremitas atas maupun bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak
pada ekstremitas atas maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan suhu teraba
hangat atau tidak.
Perkusi:
suara ketuknya sonor atau timpani.
Pemeriksaan
Diagnostik
Diagnosis
SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat
badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1
terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes
imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik
Anti
ds DNA
Batas
normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif :
< 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi
ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan
penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat
dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis.
Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
Antinuklear
antibodies ( ANA )
Harga
normal : nol
ANA
digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah
sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana
cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA
diperkirakan menurun.
Jika
hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil
test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika
hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi
anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.
Pemeriksaan
khusus:
Biopsi
ginjal
Biopsi
kulit
Pemeriksaan
imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak
terkena (70%).
7. PENATALAKSANAAN
Penderita
SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna).
Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan
pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada
SLE, yaitu:
Monitoring
teratur
Penghematan
energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
Fotoproteksi
dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen
lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
Atasi
infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
Rencanakan
kehamilan/hindari kehamilan.
obat
– obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:
Nonsteroid
anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna karena kemampuanya
sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi
SLE dengan demam dan arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang
paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk
mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan steroid
dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping yang lebih sedikit,
diharapkan dapat mengatasi hal ini, saying belum ada penelitian mengenai
efektifitasnya pada SLE. Efek samping dari OAINS adalah: reaksi
hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
Korticosteroid
>> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan
amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering digunakan adalah
pprednison dan multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat
dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg samapai 5 mg,.
Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis.
Pada SLE yang akut dan yang mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID
dan antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang
membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis berat miocarditis,
lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik, neufropati perifer dan
kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment pembenan steroid:
Regmen
I : daily oral short acting {predmison, prednisolon, multiprednisolon} dosis:
1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap
sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf
atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk glumerulonefritis
Regimen
II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari, selama 3-5 minggu
atau 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen mungkin sangat cepat mengontrol
penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang hanyan
bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama
Regimen
III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine cyclophos phamide.
Setelah
kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5
mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
Antimalaria
>> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi
telah lama diketahui dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama
untuk cara mengganggu pemoresan antigen dimakrofag dan sel pengaji antigen yang
lain dengan peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan
mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat
menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima
steroidmaupun yang tidak. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia,
hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek sampingnya lebih
ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran
pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah timbulnya ruam,
toksisitas retin dan neurologis
Methoreksat
>> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis
untuk penyakit rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat
alkilating atau zat hioprin . methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg,
efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita,
terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.
Efek samping yang paling
seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal dan
hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah
lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,
pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
1. PERENCANAAN KEPERAWATAN
No
|
Diagnosa keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)
|
Intervensi (NIC)
|
1
|
Nyeri akut b.d. agen injury
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
- Laporan secara verbal atau non verbal
- Tingkah laku berhati-hati
|
Pain Level
Setelah dilakukan perawatan 3 hari, nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria :
- Klien tenang, klien dapat istirahat dengan tenang
- Skala nyeri 1-2
- Tanda vital normal
Pain control
Setelah dilakukan perawatan 3 hari pasien: mampu mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :
- pasien mengetahui penyebab nyeri
- mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyer
- Melaporkan gejala yang dirasakan kepada tenaga kesehatan
|
Pain Management
- Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
- Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
- Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Ajarkan tentang teknik relaksasi, sentuhan dan dorong ambulasi dini
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
-
|
1.2
|
Gangguan pola tidur b.d. lingkungan, nyeri
Definisi: gangguan jumlah dan kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi waktu dalam jumlah dan kualitas.
Batasan karakteristik:
- Keluhan verbal tentang kesulitan untuk tidur
- Ketidakpuasan tidur
- Keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan baik
- Total waktu tidur kurang dari usia yang normal
|
Istirahat
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, klien menunjukkan istirahat yang adekuat dengan indikator:
- Kuantitas dan Kualitas istirahat (dbn)
- Pola istirahat teratur
- Pasien dapat istirahat secara fisik, mental
- Pasien merasakan kesegaran setelah istirahat
Tidur
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, pada klien menunjukkan tidur yang adekuat dengan indikator:
- Jumlah jam tidur tidak terganggu
- Tidak ada masalah dengan pola, kualitas, rutinita tidur
- Terjaga dalam waktu yang sesuai
- Klien merasakan kesegaran setelah bangun pagi
- Tanda-tanda vital dbn
|
Peningkatan Tidur
- Tentukan pola tidur atau aktivitas klien
- Jelaskan pentingnya tidur saat kondisi sakit
- Tentukan efek pengobatan terhadap pola tidur klien
- Monitor pola dan jumlah jam tidur klien
- Monitor pola tidur dan catat hubungan faktor-faktor fisik (apnea saat tidur, nyeri/ ketidaknyamanan) dan faktor psikologi
- Modifikasi lingkungan
- Motivasi pasien untuk tidur rutin
- Fasilitasi pasien agar dapat tidur rutin
- Bantu untuk mengurangi stressor dari lingkungan
- Lakukan massage atau pengaturan posisi
- Lakukan pendkes pada keluarga
|
3
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan untuk mengunyah atau mengabsorbsi nutrisi dikarenakan faktor biologis, psikologi atau ekonomi.
|
Status nutrisi intake makanan dan cairan, dengan kriteria hasil pasien memiliki:
-Intake makanan yang adekuat
-Intake cairan dengan adekuat
|
- Kaji adanya alergi makanan
- Monitor intake makanan dan minuman yang dikonsumsi klien setiap hari.
- Yakinkan diet yang dimakan mengandung serat untuk mencegah konstipasi
- Beri makanan yang terpilih
- Kaji kebutuhan klien akan pemasangan NGT
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
|
4
|
Risk for infection b.d invasive procedure
|
Infection severity
Indikator:
- Nyeri
- Kolonisasi bakteri dalam urine
- Peningkatan jumlah leukosit
- Demam
Risk Control: infection process
Indikator:
- Mengetahui perilaku yang berhubungan dengan resiko infeksi
- Memonitor lingkungan terkait faktor yang berhubungan dengan infeksi
- Mempertahankan lingkungan yang bersih
- Penggunaan alat pelindung diri
- Mempraktekkan hand sanitation
|
Infection control
Aktivitas:
- Memonitor tanda dan gejala infeksi local maupun sistemik
- Monitor jumlah granulosit, WBC
- Membatasi pengunjung
- Mempertahankan prinsip aseptik
- Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas, atau drainage
- Mengedukasi pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi, serta melaporkan kepada tenaga kesehatan
- Mengedukasi pasien dan keluarga tentang pencegaha infeksi
Vital sign monitoring
Aktivitas:
- Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan nafas
- Monitor tanda dan gejala hipertermia
- Monitor irama jantung
- Monitor ritme jantung
- Monitor suara paru
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar